TikTok Syndrome, Penyakit atau Hoax?

Teknologi mengubah cara manusia untuk hidup termasuk berinteraksi dengan orang lain dan menjalani kehidupannya. Revolusi industri termasuk dunia internet berdampak banyak kepada masyarakat. Bagaimana kita bersosialisasi dengan orang lain, mendapatkan informasi dan hiburan. 

Hal itu membawa banyak dampak pada remaja dan anak-anak, bahkan juga orang tua juga ikut terkena imbasnya. Alih-alih dampak positif yang berguna, sebagian memberikan dampak negatif yang luar biasa dan tidak kita pikirkan sebelumnya. Sosial media alias sosmed menjadi di salah satu portal yang menghubungkan dunia nyata dan dunia maya. Di mana orang bisa berinteraksi dengan yang lain tanpa harus dengan bertemu muka. Hal ini ini banyak mengaburkan identitas orang satu dengan yang lainnya. 

Sudah banyak kejadian yang viral di masa lalu dimana dua orang tidak saling mengenal kemudian bertemu tanpa mengetahui latar belakang kehidupan nyata sebelumnya hanya melalui interaksi di sosmed. Banyak tindak kriminal atau kejahatan yang memanfaatkan kaburnya identitas itu. Selain itu, sosmed juga berpengaruh terhadap perilaku kita yang selalu ingin menunjukkan jati diri. Banyak perilaku menyimpang yang dipertontonkan di sosial media termasuk ekshibisionisme (kelainan mempertontonkan tubuh),  narsisme (narsis) bahkan sarkasme (hujatan dan sindiran). 

Dengan iming-iming berupa rewards dalam bentuk uang, banyak orang terutama kalangan remaja berlomba-lomba untuk membuat konten yang menarik pengunjung sesuai versi mereka dan menganggap nya unik meskipun melanggar norma dan adat masyarakat ketimuran. 

Salah satu sosial media populer yang digandrungi anak muda sekarang adalah TikTok. Saya tidak bilang aplikasi ini buruk, hanya saja efek sampingnya ketika disalahgunakan sangat tidak baik untuk kehidupan kita. 

Aplikasi ini merupakan salah satu sosmed yang banyak berisi konten hiburan joget-joget disertai musik pendek yang menghentak dan teramat populer di kalangan anak muda masa kini. Meskipun juga aplikasi ini ada sisi positif di mana ada juga konten-konten motivasi, informasi atau edukasi, ada juga sisi lain yang berisikan konten tidak berguna alias sampah. Yang sama sekali tidak mendidik bahkan berisi unsur pornografi, SARA yang malah mendapat view yang fantastis akibat kegoblokan unfaedah- nya. Tidak tahu apa yang ada dalam pikiran anak muda zaman sekarang. 

Yang cukup viral terakhir yaitu beberapa remaja mengaku kecanduan dan mengidap TikTok Syndrome. Mereka klaim dirinya melakukan gerakan menari seperti mengikuti irama atau berjoget saat tidak sedang menggunakan TikTok, bahkan ketika tertidur, mereka mengaku harus minum obat sehari dua kali serta melakukan meditasi untuk mengurangi gejalanya. Apakah benar sindrom seperti itu ada di dunia kedokteran? 

Dalam dunia medis tidak ada namanya TikTok Syndrom, itu hanya dibuat-buat oleh beberapa akun untuk menarik pengunjung sebagai candaan dan sekaligus sebagai sindiran. Sayangnya beberapa orang bahkan media menanggapi nya cukup serius dan meliputnya. Yah, kena prank ...deh.

Orang memang bisa mengidap sesuatu kelainan yang membuat dia bergerak tanpa disadari oleh otaknya dikenal sebagai sindrom Tourette. Sindroma ini jelas tidak dipengaruhi oleh aktivitas menari atau berjoget yang biasanya dilakukan menggunakan aplikasi tersebut. Beredarnya informasi yang salah tentang sindroma ini memicu keresahan orang tua yang khawatir anak-anak nya terkena gejala itu. 

Sindrom tourette terjadi saat seseorang mengeluarkan kata-kata spontan atau bergerak spontan. Gerakan ini bisa dilakukan nya berulang kali, tanpa dia sadari. Ada kelainan lain yang dinamai tardive diskinesia, yang membuat seseorang meringis, menghentakkan kaki atau menggoyangkan bahu secara involunter alias tanpa dia sadari. Ini bisa diakibatian efek penggunaan obat-obatan antipsikotik/ kejiwaan (neuroleptik). 

Kedua kondisi tersebut harus ditangani segera, dan dikonsultasikan dengan ahlinya. (Dokter syaraf / ahli jiwa), karena jika terlambat bisa makin parah membuat seseorang menjadi depresi dan menarik diri dari pergaulan akibat malu sering melakukan gerakan anehnya tanpa dia sadari, berulangkali tanpa mengenal waktu dan tempat. 

Meskipun toh, TikTok Syndrome itu hanya hoaks semata. Kita harus tau batas-batas nya bagaimana kita menggunakan aplikasi medsos. Asal untuk mencari hiburan semata tidak masalah, namun jika ambil bagian dalam menunjukkan dan menyombongkan diri, mencari pujian, itu lain lagi ceritanya. 

Kecanduan itu nyata, bayangkan jika sudah candu, orang akan cemas jika tidak membuka aplikasi ini. Seperti ada yang hilang dalam dirinya. Well, bijaklah memakai medsos ya. 

(Igz-setyo)


Share on Google Plus

About Ari Cahyono

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 Comments:

Posting Komentar